Selasa, 21 Juni 2011

Kawista, Cola van Java

copyright: trubus-online.co.idGelembung-gelembung kecil segera muncul saat minuman berwarna cokelat bening itu dituang ke gelas. Sensasi rasa yang menggigit di lidah, langsung tercecap waktu ia masuk ke rongga mulut.  Bukan, minuman itu bukan kola berkarbonasi. Itu sirup kawista asal Rembang, Jawa Tengah.
Sirup itu Trubus nikmati di siang hari yang panas pada akhir Mei 2010 di kediaman Imam Tohari. Segarnya segelas sirup kawistayang dicampur es batu melenyapkan dahaga seketika. Sensasi yang terasa menggigit di lidah berlanjut ke tenggorokan. Lalu beberapa detik kemudian terasa ada gas menelusup ke hidung. Sensasi itu mirip saat meneguk minuman kola berkarbonasi.
Sirup dari buah kawista Limonia acidissima memang saru dengan  minuman asal buah kola Cola nitida. Bedanya kola berkarbonasi diolah dari buah kola yang banyak tumbuh di daratan Afrika.Kawista tumbuh di tanah air, terutama Pulau Jawa. Pantas sirup kawista kerap dijuluki java cola, atau cola van Java  alias kola dari Jawa. ‘Rasa menggigit pada minuman kola dan kawista  kemungkinan muncul dari senyawa berbentuk kristal yang berubah menjadi gas COsaat diolah,’ kata Dr Ir Raffi Paramawati, ahli teknologi pangan dari Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong, Tangerang, Banten.
Awet setahun
Kristal itu  berupa senyawa komplek yang sifatnya menyerupai asam karbonat sehingga menyebabkan munculnya gelembung udara saat minuman dituang.  Sayangnya, minuman kola asli sudah jarang dijumpai di pasaran. Kebanyakan minuman kola yang beredar menggunakan perisa kola sintetis dan sudah melalui proses karbonasi di pabrik. ‘Proses karbonasi dilakukan dengan melarutkan gas CO2 ke dalam air sehingga membentuk asam karbonat H2CO3 atau soda,’ tutur Dr Ir Sri Widowati MappSc, dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor, Jawa Barat.
Dengan begitu minuman rasa kola bisa diproduksi massal sehingga mudah dijumpai di pasaran. Itu berbeda dengan sirup kawista yang hanya banyak dijumpai di Rembang. Rembang memang sohor sebagai sentra kawista sejak puluhan tahun lalu. Pohon berumur puluhan tahun tumbuh di pekarangan penduduk di Kecamatan Lasem, Sumberejo, dan Paciran. ‘Diperkirakan saat ini ada 1.000 pohon kawista tersebar di Rembang,’ tutur Suratmin, sekretaris Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Kerabat jeruk itu panen raya pada Februari – April.
Kawista itu berbeda dengan kawista Feronia lucida yang biasa digunakan untuk bakalan bonsai. Masyarakat menyebutnya kawista kerikil karena buahnya hanya sebesar kerikil. Sedangkan buah kawista Limonia acidissima disebut kawista batu.
Penduduk Rembang kerap mengkonsumsi buah segarnya dengan taburan gula. Cara lain diolah menjadi sirup sehingga awet. Minuman khas itu dibuat dengan merebus daging buah kawista bersama air. Air rebusan disaring dengan kain halus agar sari buah dan seratnya terpisah. Kemudian sari buah diendapkan selama 24 jam dalam wadah tertutup.
Setelah mengendap, air di lapisan atas dipisahkan dari endapan dan ditambah pengental. Setelah didiamkan selama 12 jam, air sari itu direbus sekaligus ditambahkan gula pasir. Perbandingannya 1 liter sari kawista : 700 g gula. Setelah mendidih, sari kawista disaring kembali dan dimasukkan ke dalam botol.  ‘Agar awet selama setahun, bisa ditambahkan pengawet makanan natrium benzoat sebanyak 1 sendok teh untuk 1 liter sirup,’ kata Imam Tohari, produsen sirup kawista.
Ekspor
Selain sirup, 3 tahun belakangan muncul olahan-olahan baru seperti madu mongso – dodol khas Jawa berbahan dasar tape ketan – dan selai.  ‘Selama ini serat kawista sisa pengolahan sirup belum pernah dimanfaatkan, makanya saya coba-coba mengolahnya menjadi madu mongso dan selai,’ kata Imam.
Pemilik CV Karya Bakti Makanan dan Minuman itu membuat madu mongso dengan memadukan serat kawista, tape ketan, santan, dan gula merah  yang dipanaskan di atas api kecil sampai mengental. Rasanya manis bercampur asam, dengan aroma buah segar. Sedangkan selaikawista dibuat dengan  merebus serat kawista, gula merah, dan air tape sampai mengental.
Imam memproduksi sekitar 2.500 botol sirup, 22.000 botol limun, dan 4.000 pak selai dan madumongso tiap tahun. Itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di sekitar Rembang saja.
Menurut L Agus Sukamto, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, sejatinya kawista berpotensi dikembangkan sebagai komoditas bernilai tinggi. ‘Di Sri Lanka,kawista diolah menjadi minuman dan cream sebagai komoditas ekspor,’ tuturnya. Buah didapat dari tanaman yang banyak tumbuh di pekarangan rumah dan kebun.
Di tanahair kawista adaptif ditanam di daerah kering di pesisir pantai seperti Rembang dan Jepara (Jawa Tengah), Karawang (Jawa Barat), serta Tuban (Jawa Timur). ‘Penanaman di luar Jawa seperti di Bali pun memungkinkan asal daerah kering,’ kata Agus
Pasar Jepang
Penanaman kawista kurang berkembang karena dianggap tumbuh sangat lambat. Dalam buku Plant Resouces of South East Asia (PROSEA) disebutkan kawista baru berbuah setelah umur 15 tahun. Itu jika tanaman asal biji atau setek akar. Dengan okulasi kawista bisa lebih cepat tumbuh.
Itu dibuktikan oleh Wawan K Sarip, di Karawang, Jawa Barat. Kawista asal okulasi mulai belajar berbuah umur 2 tahun. Untuk menggenjot pertumbuhan, Wawan menggunakan batang bawah rangkap 2 – 5. Dengan umur genjah, Wawan berencana mengebunkan 200 kawista di Karawang, pada 2011. Itu guna memenuhi permintaan ekspor olahan kawista ke Jepang.
Dua tahun terakhir Wawan memang getol mengolah kawista menjadi minuman segar dan dodol. ‘Tiap ikut pameran saya bisa jual 200 kemasan dodol dan 200 botol minuman,’ tutur pemilik PT Axar Qiara itu. Bahkan produk kawista milik Wawan masuk dalam 10 besar produk unggulan Karawang untuk ekspor ke Jepang. Artinya kola van java punya peluang untuk dikembangkan. 

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger

Aku

Kuda binal yang menembus pasir-pasir putih

melayang menuju padang ilalang
kerasnya hidup hanyalah ujaran keadaan
pilihan hidup membuat manusia berdaulat

di jalan-jalan malam, lampu kota hanya menyeru
kemana tambatan kaki melaju
deru suara bereteriak memecah kelam
diri memang milik-Nya
tak kuasa menjemput sebelum ajal mendekat

kepada perempuan dengan senyum matahari
sang Evawani yang berjalan di kalbuku
air tangis ini hanya sebatas waris
dengan boneka manis yang tersenyum kepadamu
kala rangkaku telah ditelan tanah

dimana revolusi tidak pernah berakhir
aku mau hidup seribu tahun lagi*


By : Aseng Jayadipa